Penyalahgunaan Deklarasi Bogor
Oleh PKI
Deklarasi
historis ini adalah pernyataan kebulatan tekad bersama 10 partai politik (PNI,
NU,PKI, PSII, Partai Katolik, IPKI, Parkindo, Perti, Partindo dan Murba) di
istana Bogor pada tanggal 12 Desember 1964. Pokoknya : memupuk persatuan nasional
yang progresif-revolusioner berporoskan NASAKOM dengan tidak
menginterpretasikan ajaran golongan lain hingga merugikannya. Menyelesaikan masalah-masalah
nasional secara musyawarah dengan cara berkonsultasi, misalnya melaksanakan
Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) dan undang – undang pokok bagi hasil
(UUBPH) khususnya tentang sengketa tanah.
Deklarasi bogor
digunakan PKI untuk mengelabui partai-partai non-komunis dengan menyalahgukan
prinsip gotong royong dan musyawarah. PKI memakainya sebagai senjata ampuh
untuk memukul lawan-lawannya, misalnya dalam Aksi-aksi sepihak di Klaten dan
dalam peristiwa Kanigoro (Pemuda Islam Indonesia diserang oleh barisan tani
Indonesia dan Pemuda rakyat). Untuk ‘menyelesaikan’ perkara seperti ini, PKI
menyeodorkan Deklarasi Bogor.
Taktik
Deklarasi Bogor gaya PKI kadang-kadang masih digunakan. Pihak lawan dirugikan
lebih dahulu, baik secara fisik (pengrusakan gedung-gedung, bahkan gedung
ibadahnya) maupun secara non fisik
(dengan segala macam peraturan, intimidasai, pelarangan), kemudian diajak
bermusyawarah ‘ demi ketenangan dan ketenteraman dalam masyarakat’ dengan
maksud supaya menerima sebagian tuntutan pihak penyerang. Kalau pihak yang
dirugikan tadi tidak mau menyerah begitu saja, tetapi usaha membela diri
atau/dan menuntuk keadilan, maka ia dicap sebagai pengacau atau sumber
pertentangan/pertikaian, yang menimbulkan keresahan dan pertentangan sosial. Dengan
demikian, pihak penyerang yang bertindak licik dan adil itu menampakkan diri
sebagai ‘pecinta damai’ bahwa asal-usul seluruh pertentangan adalah aksinya,
dilupakan dan bahkan tidak boleh disebut sebut lagi.